Implementasi GCG pada Beberapa BUMN di Indonesia
Akhir-akhir ini masalah pengelolaan aset badan usaha milik negara (BUMN) banyak mendapat sorotan. Harus diakui, dalam pengelolaan aset BUMN masih banyak ditemui kendala yang sulit diatasi dengan tepat dan cepat. Salah satu kendalanya adalah masih kuatnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat bertentangan dengan prinsip good corporate governance (GCG). Saat ini GCG telah menjadi isu sentral di masyarakat, termasuk lingkungan BUMN. Konsep GCG merupakan konsep yang telah mendunia dan perannya cenderung meningkat di era globalisasi. Dalam konsep itu, perusahaan-perusahaan dapat menjalin jaringan melewati batas-batas negara dan budaya.
Ketentuan yang mengatur pengelolaan BUMN sesuai Pasal 4 SK Menteri BUMN No KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN, antara lain bertujuan untuk mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien. Menteri BUMN, dalam seminar “Optimalisasi Aset BUMN”, di Jakarta, 12 Desember 2006 lalu, menyatakan bahwa pengelolaan aset-aset BUMN yang tidak optimal menyebabkan hilangnya potensi tambahan nilai pasar. Seluruh aset BUMN yang mencakup lahan dan properti memiliki nilai buku Rp 1.300 triliun. Bila itu dapat dimanfaatkan secara optimal, maka nilai pasar aset-aset itu dapat mencapai tiga hingga lima kali lipat dari nilai buku tersebut. Selain itu, aset-aset tersebut juga berpotensi memberikan kontribusi besar bagi perbaikan kinerja BUMN. Beberapa waktu lalu, Umar Juoro, Direktur Center for Information & Development Studies (CIDES) dalam sebuah seminar mengenai “Transparansi Pengelolaan dan Langkah Hukum Terhadap Penyalahgunaan Aset Negara”, menyatakan, akuntabilitas pengelolaan aset negara di Indonesia ternyata masih rendah. Kondisi BUMN berdasarkan laporan keuangan tahun 2004 dari 158 BUMN, ternyata ada 31 BUMN mengalami kerugian sebesar Rp 4,5 triliun. Laba yang diperoleh dari 127 BUMN sebesar Rp 29,6 triliun, sedangkan total aset seluruh BUMN mencapai Rp 1.313 triliun. Dengan demikian, return on asset (ROA) yang dicapai BUMN hanya 2,49 persen dan return on equity (ROE) hanya 6,10 persen.
Pada akhir tahun 2005 total aset yang dikelola oleh seluruh BUMN lebih dari Rp 1.400 triliun. Namun, bila diamati lebih lanjut, ternyata banyak aset BUMN yang belum dikelola secara profesional dan efisien. Selain itu, masih terdapat beberapa aset di BUMN yang tidak digunakan secara produktif dan tidak digunakan dalam proses produksi. Bahkan masih terdapat aset yang dibiarkan tidak terurus (terlantar). Hal itu dapat mengakibatkan rendahnya pencapaian ROA bagi BUMN yang bersangkutan. Aset-aset BUMN yang dibiarkan terlantar, misalnya tanah atau bangunan, kemungkinan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya dapat menimbulkan sengketa, dan penyelesaiannya memerlukan waktu berlarut-larut.
Oleh karena itu, sudah saatnya BUMN melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap aset-aset yang dimilikinya. Setiap aset yang dikelola oleh BUMN seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan profit dalam bentuk pemasukan kas (cash inflow) sehingga bernilai tambah (value added). Beberapa waktu lalu, sering terjadi kasus adanya ruislag tanah dan bangunan milik BUMN dengan pihak ketiga (swasta) yang berakibat merugikan BUMN. Pada saat ini seharusnya hal tersebut dapat dihindari oleh manajemen BUMN. Bila ditemukan adanya indikasi KKN dalam pengelolaan aset BUMN, maka dapat dilakukan audit investigasi oleh pihak yang berwenang. Misalnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan aparat lain.
Aset BUMN harus dikelola secara profesional dengan prinsip kehati-hatian serta memperhatikan prinsip GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran. Dalam era persaingan global, maka penerapan prinsip GCG sudah bukan merupakan kewajiban, tetapi suatu kebutuhan perusahaan sehingga eksistensi BUMN dapat dipertahankan dan berkesinambungan. Pengelolaan aset BUMN harus dapat memenuhi prinsip pertanggungjawaban. Artinya aset BUMN dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Manajemen BUMN juga perlu memperhatikan adanya keputusan Menteri Keuangan maupun Menteri BUMN yang mengatur tentang pengelolaan aset (aktiva tetap), termasuk ketentuan yang mengatur masalah pelepasan aset atau penjualan aset non produktif. Pengelolaan aset BUMN harus memenuhi prinsip kewajaran. Artinya perlu diperhatikan masalah keadilan dan kesetaraan. Bila terdapat kontrak/kerja sama yang terkait dengan pihak ketiga dalam pengelolaan aset BUMN, hendaknya dihindarkan adanya perlakuan istimewa yang tidak sesuai dengan prinsip GCG.
Bila manajemen BUMN dapat mengelola asetnya sesuai dengan prinsip-prinsip GCG diharapkan dapat diperoleh 5 (lima) manfaat. Pertama, BUMN memperoleh nilai perusahaan (corporate value) secara maksimal. Kedua, BUMN memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. Ketiga, kontribusi BUMN kepada pemerintah berupa dividen dan pajak lebih meningkat, sehingga dapat mendukung bangkitnya perekonomian nasional. Keempat, pengelolaan BUMN lebih transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kelima, Kinerja BUMN akan lebih bagus karena ROA lebih baik. Berbagai upaya untuk mewujudkan GCG di BUMN perlu kita dukung bersama. Namun seperti halnya banyak gerakan/ program di negara kita selama ini, termasuk di lingkungan BUMN, sering hanya menjadi demam sesaat, kurang menyentuh tataran implementasi dalam pengelolaan aset BUMN
0 Response to "Implementasi GCG pada Beberapa BUMN di Indonesia"
Post a Comment